Kecelakaan maut akibat rem blong kembali menghantui jalanan Indonesia. Insiden tragis di Probolinggo, Jawa Timur, menambah panjang daftar kelam kecelakaan serupa yang merenggut nyawa. Namun, di balik pemberitaan yang fokus pada kerusakan teknis, ada cerita tentang tekanan ekonomi dan kurangnya pelatihan yang memaksa sopir truk mengambil risiko besar.
Lebih dari Sekadar Kampas Rem yang Aus
Penyebab rem blong memang kerap dikaitkan dengan panas berlebih pada kampas rem, terutama saat melintasi jalan menurun. Namun, masalahnya seringkali lebih kompleks dari itu. Banyak sopir truk yang bekerja dengan sistem target setoran yang tinggi. Mereka dipaksa untuk mengangkut muatan berlebih (overload) demi mengejar target, yang berdampak langsung pada kinerja sistem pengereman.
"Sopir seringkali berada di bawah tekanan untuk mengangkut muatan sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin," ujar Bambang, seorang pengamat transportasi yang enggan disebutkan nama lengkapnya. "Overload bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga mempercepat kerusakan komponen kendaraan, termasuk rem."
Minimnya Pelatihan: Ancaman Nyata di Jalan Raya
Selain tekanan ekonomi, minimnya pelatihan yang memadai bagi sopir truk juga menjadi faktor krusial. Banyak sopir yang hanya belajar secara otodidak atau dari pengalaman, tanpa memahami sepenuhnya prinsip kerja sistem pengereman, terutama engine brake dan teknik pengereman yang benar di jalan menurun.
"Banyak sopir yang panik saat rem mulai terasa blong dan melakukan kesalahan fatal, seperti menginjak pedal rem berulang kali atau mencoba menurunkan gigi secara paksa," lanjut Bambang. "Padahal, tindakan tersebut justru bisa memperburuk situasi."
Sistem yang Rusak: Saatnya Reformasi Total
Kecelakaan akibat rem blong bukan sekadar masalah individu atau kerusakan teknis semata. Ini adalah cerminan dari sistem yang rusak, mulai dari regulasi yang lemah, pengawasan yang minim, hingga tekanan ekonomi yang membebani sopir.
Pemerintah dan perusahaan transportasi perlu melakukan reformasi total untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali. Beberapa langkah yang perlu diambil antara lain:
- Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran muatan berlebih.
- Peningkatan kualitas dan kuantitas pelatihan bagi sopir truk, dengan fokus pada teknik pengereman yang aman dan efektif.
- Pemeriksaan kendaraan secara berkala dan ketat, terutama sistem pengereman.
- Penerapan sistem remunerasi yang adil bagi sopir, sehingga mereka tidak tertekan untuk mengejar target dengan mengorbankan keselamatan.
- Investasi pada teknologi pendukung keselamatan berkendara, seperti sistem pengereman otomatis (Automatic Emergency Braking/AEB).
Tragedi di Probolinggo adalah pengingat pahit bahwa nyawa tidak bisa ditukar dengan target setoran. Saatnya semua pihak berbenah diri dan membangun sistem transportasi yang lebih aman dan manusiawi. Jangan biarkan sopir truk terus terjebak dalam lingkaran setan yang mengancam nyawa mereka dan pengguna jalan lainnya.