Jakarta – Gempuran mobil-mobil asal China di pasar otomotif Indonesia semakin terasa. Bukan hanya menawarkan desain yang menarik dan fitur canggih, strategi harga yang agresif menjadi daya tarik utama. Namun, benarkah penurunan harga yang signifikan ini semata-mata hanya "banting harga"? Ternyata, ada faktor-faktor lain yang lebih mendalam di balik fenomena ini.
Penurunan harga memang menjadi senjata ampuh. Beberapa merek seperti Neta, MG, Wuling, BAIC, Jetour, dan Chery secara terang-terangan memangkas harga jual produk mereka. Bahkan, ada yang turun hingga ratusan juta rupiah! Konsumen tentu saja tergiur.
Namun, perlu dicermati bahwa penurunan harga ini bukan tanpa alasan. Salah satu faktor krusial adalah investasi besar-besaran yang dilakukan pabrikan China untuk membangun fasilitas produksi di Indonesia. Neta, MG, dan BAIC adalah contoh nyata. Dengan memindahkan perakitan dari impor (CBU) ke produksi lokal (CKD), biaya produksi dapat ditekan secara signifikan.
"Perubahan status dari CBU ke CKD membuat harga jadi jauh lebih rendah. Kalau impor, harga masih tinggi sekali, karena itu kami berinvestasi di Indonesia," ujar CEO MG Motor Indonesia, Alec He Guowei, beberapa waktu lalu.
Dampak dari produksi lokal ini sangat terasa. Biaya impor yang tinggi, termasuk bea masuk dan pajak barang mewah, dapat dihindari. COO PT JHL International Otomotif (JIO), Dhani Yahya, menjelaskan bahwa sebelumnya bea impor dan pajak barang mewah bisa mencapai 50 persen. Dengan produksi lokal, angkanya bisa ditekan menjadi hanya 7-10 persen.
Selain itu, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) juga memainkan peran penting. Semakin tinggi TKDN suatu produk, semakin besar pula insentif yang bisa didapatkan, termasuk keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Neta V-II, misalnya, dipasarkan dengan harga Rp 299 juta setelah TKDN-nya mencapai 44 persen dan mendapatkan insentif PPN.
Namun, strategi pabrikan China tidak hanya berkutat pada harga. Mereka juga berupaya meningkatkan kualitas produk dan menyesuaikannya dengan selera pasar Indonesia. Fitur-fitur canggih seperti Advanced Driver Assistance System (ADAS) semakin banyak disematkan. Desain juga terus diperbarui agar sesuai dengan preferensi konsumen lokal.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa "jurus" mobil China menguasai pasar Indonesia bukan sekadar banting harga. Ada strategi jangka panjang yang melibatkan investasi, lokalisasi produksi, peningkatan TKDN, dan penyesuaian produk. Dengan kombinasi strategi ini, pabrikan China mampu menawarkan mobil dengan harga yang kompetitif tanpa mengorbankan kualitas dan fitur. Konsumen pun diuntungkan dengan semakin banyaknya pilihan mobil berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau.