Era transportasi udara pribadi sepertinya bukan lagi sekadar fantasi. Kehadiran taksi terbang di Indonesia, yang dipelopori oleh uji coba EHang 216 oleh Prestige Aviation, memicu perdebatan sengit: Inovasi revolusioner atau ancaman keselamatan yang belum teruji?

Di satu sisi, janji mobilitas yang efisien dan bebas macet sungguh menggoda. Bayangkan, melintasi kemacetan Jakarta dalam hitungan menit, atau menjangkau daerah terpencil dengan lebih mudah. Namun, euforia ini harus diimbangi dengan pertanyaan mendasar: Sudahkah kita siap?

Pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, kini tengah merumuskan regulasi yang akan mengkategorikan taksi terbang sebagai drone, atau "angkutan nirawak". Pendekatan ini, meski logis, menimbulkan kekhawatiran. Apakah regulasi drone yang ada sudah cukup memadai untuk menjamin keselamatan penumpang dan masyarakat di darat?

EHang, produsen taksi terbang EH216-S, mengklaim telah mengantongi sertifikasi dari otoritas penerbangan sipil China, serta dilengkapi dengan sistem keamanan berlapis seperti baterai cadangan, rotor cadangan, dan sistem kontrol penerbangan redundan. Namun, klaim ini belum sepenuhnya menjawab keraguan. Sertifikasi dari negara lain, meski penting, perlu divalidasi ulang oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DGCA) agar sesuai dengan standar keselamatan Indonesia.

Lebih jauh lagi, regulasi taksi terbang tidak hanya menyangkut aspek teknis dan keselamatan. Pertanyaan-pertanyaan lain yang mendesak untuk dijawab meliputi:

  • Ruang Udara: Bagaimana pengaturan lalu lintas taksi terbang di perkotaan yang padat? Apakah akan ada jalur khusus, atau berbagi dengan pesawat terbang konvensional dan drone lainnya?
  • Infrastruktur: Di mana lokasi vertiport (bandara vertikal) akan dibangun? Siapa yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaannya?
  • Lisensi Pilot: Siapa yang berhak mengemudikan taksi terbang? Apakah pilot pesawat konvensional atau operator drone yang dilatih khusus?
  • Asuransi: Bagaimana mekanisme pertanggungjawaban jika terjadi kecelakaan? Siapa yang menanggung biaya kerugian?
  • Privasi: Bagaimana perlindungan data penumpang dan data penerbangan dari penyalahgunaan?

Tanpa jawaban yang jelas dan regulasi yang komprehensif, potensi taksi terbang untuk meningkatkan mobilitas justru bisa berubah menjadi mimpi buruk. Kecelakaan udara bukan hanya akan merenggut nyawa, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap teknologi ini.

Pemerintah harus bertindak cepat dan hati-hati. Regulasi taksi terbang tidak boleh terburu-buru, tetapi juga tidak boleh terlalu lambat hingga menghambat inovasi. Proses perumusan regulasi harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk ahli penerbangan, industri, akademisi, dan masyarakat umum.

Taksi terbang memang menjanjikan masa depan transportasi yang lebih efisien dan berkelanjutan. Namun, masa depan itu hanya akan terwujud jika kita berani menghadapi tantangan dan mempersiapkan diri dengan matang. Jika tidak, taksi terbang hanya akan menjadi mimpi yang mahal, bahkan berbahaya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini