Era transportasi udara pribadi kian dekat dengan kehadiran taksi terbang tanpa pilot. Inovasi ini menawarkan solusi mobilitas yang efisien di tengah kemacetan perkotaan. Namun, pertanyaan besar muncul: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan pada kendaraan otonom ini?
EHang 216-S, salah satu pionir taksi terbang, telah menjalani uji coba di Indonesia. Kendaraan ini mengandalkan sistem kendali jarak jauh melalui jaringan 4G/5G, tanpa kehadiran pilot di dalam kokpit. Meskipun telah mengantongi sertifikasi keselamatan dari otoritas penerbangan Tiongkok, keraguan tetap menghantui terkait potensi risiko dan tanggung jawab hukum jika terjadi insiden.
Sistem Keselamatan Berlapis, Namun Bukan Jaminan Mutlak
Pihak EHang mengklaim bahwa keamanan penumpang menjadi prioritas utama. Sistem pengecekan otomatis pra-penerbangan dirancang untuk mendeteksi anomali pada komponen krusial, termasuk baterai. Jika terdeteksi masalah, pesawat akan otomatis menolak terbang. Sistem ini, menurut EHang, adalah bentuk mitigasi risiko yang komprehensif.
"Jika terjadi kecelakaan, investigasi akan dilakukan untuk menentukan apakah penyebabnya berasal dari kerusakan pesawat atau kesalahan operasional," ujar Chief Financial Officer EHang, Conor Yang. Mekanisme ini serupa dengan investigasi kecelakaan pada maskapai penerbangan konvensional.
Namun, skeptisisme tetap ada. Ketergantungan pada sistem kendali jarak jauh rentan terhadap gangguan sinyal atau serangan siber. Bagaimana jika terjadi blackout atau peretasan yang membahayakan navigasi taksi terbang? Pertanyaan ini belum sepenuhnya terjawab.
Regulasi Mendesak untuk Era Transportasi Udara Otonom
Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya merespons perkembangan teknologi taksi terbang dengan regulasi yang komprehensif. Menteri Perhubungan, Dudy Purwagandhi, menyatakan komitmennya untuk menyusun aturan yang menyeimbangkan inovasi dan keselamatan publik.
"Aspek teknis akan dikaji secara komprehensif untuk memastikan kendaraan ini aman digunakan oleh publik. Kita harus mengantisipasi kemajuan teknologi ini," tegas Menhub Dudy.
Regulasi ini diharapkan mencakup berbagai aspek, mulai dari standar keselamatan operasional, pelatihan petugas kendali darat, hingga mekanisme pertanggungjawaban hukum jika terjadi kecelakaan. Pertanyaannya, seberapa cepat regulasi ini dapat disahkan mengingat laju perkembangan teknologi yang begitu pesat?
Masa Depan di Langit, Tantangan di Darat
Potensi taksi terbang untuk mengatasi kemacetan dan meningkatkan efisiensi transportasi perkotaan sangat menjanjikan. Namun, adopsi teknologi ini harus dibarengi dengan kehati-hatian dan persiapan yang matang.
Pertanyaan mendasar tentang tanggung jawab hukum, keamanan siber, dan infrastruktur pendukung harus dijawab sebelum taksi terbang benar-benar mengudara secara komersial di Indonesia. Jika tidak, mimpi transportasi udara pribadi bisa berubah menjadi mimpi buruk bagi masyarakat.